Tuanku Imam Bonjol dan Perang Paderi

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang gigih berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.

Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Selama Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Gambar. Tuanku Imam Bonjol
Sumber. id.wikipedia.org

Siapakah Tuanku Imam Bonjol
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Beliau dibesarkan dalam keluarga yang memegang tradisi Minang. Semasa muda, Muhammad Shahab sudah mempelajari ilmu agama dari orangtuanya yang merupakan ulama setempat. Beliau memperoleh ilmu agama dari pesantren-pesantren dan berguru pada ulama ternama di Sumatera. Beliau juga mendalami tasauf, ilmu fiqih, kajian Alquran, dan Dalil. Sembari belajar agama, Muhammad Shahab rutin mengadakan pengajian dan menjadi penceramah bagi masyarakat setempat.
 
Perlu diketahui, waktu itu sebagian masyarakat di sana masih belum sepenuhnya menjalankan Islam dengan benar. Penduduk sana belum bisa sepenuhnya meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh agama. Atas keberhasilannya dalam memberikan pencerahan spiritual inilah yang membuatnya dijuluki masyarakat sebagai Imam Bonjol, yang artinya pemimpin dari Bonjol, daerah asal beliau lahir dan dibesarkan. Dan dari situlah biografi Imam Bonjol berasal.

Awal Mula Peperangan Imam Bonjol
Perang Antara Golongan Ulama (Paderi) vs Golongan Adat
Dikutip dari buku Elizabeth E. Graves, 2007 : 47 golongan wahabi (paderi) adalah gerakan pada pembaharuan pusat-pusat kajian islam, tarekat, yang mereka anggap penyimpangan praktik Islam dari ajaran Agama yang murni sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Sementara golongan adat adalah golongan yang masih memegang teguh tradisi-tradisi lama yang bertolak belakang dengan ajaran Agama Islam seperti bid'ah, sabung ayam, dll. Dalam hal ini golongan adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung.

Timbulnya peperangan antara golongan ulama dengan golongan adat dimulai ketika salah satu pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan, meminta tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Agung beserta golongan adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah). Permintaan ini akhirnya diadakan beberapa perundingan, tapi perkembangannya tidak ada kesepakatan dalam perundingan tersebut. Beberapa nagari dalam kerajaan pagaruyung bergejolak dan akhirnya golongan paderi (ulama) menyerang pagaruyung pada tahun 1815 dan pecahlah pertempuran yang mengakibatkan mengungsinya Sultan Arifin Muningsyah ke ibu kota kerajaan Lubuk Jambi.

Perang Antara Golongan Ulama vs Gabungan Golongan Adat & Belanda
Kekalahan yang dialami oleh golongan Adat, memaksa mereka meminta bantuan kepada Belanda. Tanggal 21 Februari 1821, kaum adat secara resmi bekerjasama dan mengadakan perjanjian di Padang, sebagai kompensasi bantuan Belanda, Kerajaan Pagaruyung memberikan hak akses dan penguasaan di wilayah Darek. Dalam perjanjian ini dihadiri juga oleh keluarga kerajaan Pagaruyung oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar.

Keikutsertaan Belanda dalam perang paderi ditandai dengan penyerangan simawang dan sulit air dibawah pasukan kapten Goffinet dan kapten Dienema atas perintah Residen James du Puy di Padang pada tanggal 1821. Gigihnya perlawanan yang dilakukan Imam bonjol menipisnya kekuatan Belanda di Sumatera dan juga adanya peperangan di daerah lain seperti Perang Diponegoro, memaksa Belanda untuk mengadakan perjanjian perdamaian dengan golongan ulama, perjanjian itu dinamakan Perjanjian Masang tahun 1824. Tetapi perjanjian itu rupanya hanya siasat Belanda sendiri dan akhirnya dilanggar sendiri setelah berahirnya perang Pangeran Diponegoro.

Perang Antara Gabungan Golongan Ulama & Adat vs Belanda
Melihat kelicikan kubu Belanda yang melanggar perjanjian Masang, dan kaum Adat merasa telah dirugikan oleh Belanda, maka timbullah kesadaran berdamai dari pihak pribumi. Sebab perang saudara yang telah berlangsung selama 18 tahun itu sudah menyengsarakan rakyat Minang. Kesadaran akan perjuangan bersama mengusir belanda ini ditandai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).

Dengan pasukan kekuatan penuh, dari beberapa catatan sejarah kekuatan Belanda saat itu berjumlah 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Dengan pemimpin pasukan seperti; Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Belanda menyerang pertahanan golongan ulama di benteng Bonjol dari berbagai jurusan selama kurang lebih enam bulan (20 Juli 1837).

Belanda terus menerus mendatangkan tambahan kekuatan dari Batavia, pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda. 

Ditangkap dan Diasingkannya Imam Bonjol Serta Akhir Perang Paderi
Dengan datangnya tambahan kekuatan dari pihak Belanda mengakibatkan jatuhnya benteng Bonjol ke tangan Belanda. Akantetapi pemimpin dan pejuang Paderi berlari ke hutan dan tidak sudi untuk menyerahkan diri. Untuk menangkap Imam Bonjol, Belanda menggunakan akal licik yaitu menjebak dengan cara mengundang Imam Bonjol ke Palupuh pada bulan oktober 1837 untuk berunding mengakiri peperangan. Tetapi tiba-tiba ditempat itu dikepung dan Imam Bonjol di asingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, Manado, sekaligus tempat akhir hayat Imam Bonjol. Beliau dimakamkan ditempat pengasingan pada tanggal 8 November 1864.

0 Response to "Tuanku Imam Bonjol dan Perang Paderi"

Posting Komentar