Membicarakan sejarah pendidikan Indonesia tidak bisa lepas dari masa kolonial Hindia Belanda. Pada era itu, sistem pendidikan tidaklah seragam dan egaliter seperti yang kita kenal sekarang. Salah satu institusi pendidikan yang paling menarik untuk dikulik adalah Europeesche Lagere School atau disingkat ELS. Sekolah ini bukan sekadar tempat belajar; ia adalah cermin dari kebijakan politik, stratifikasi sosial, dan awal mula modernisasi pendidikan di Nusantara.
Gambar. Bangunan ELS di Probolinggo Sekarang Menjadi SDN Trisnonegaran 1 Kota Probolinggo
Bagi para peneliti sejarah, penggemar nostalgia, atau Anda yang penasaran dengan akar sistem pendidikan Indonesia, mengenal ELS adalah sebuah keharusan. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang seluk-beluk Europeesche Lagere School, dari awal berdirinya, kurikulumnya, hingga jejak peninggalannya yang masih bisa kita lihat hari ini.
Apa Itu Europeesche Lagere School (ELS)?
Europeesche Lagere School (ELS), yang dalam bahasa Indonesia berarti Sekolah Dasar Eropa, adalah sistem sekolah dasar yang diperuntukkan terutama bagi anak-anak keturunan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda. Didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, ELS dirancang untuk menyediakan pendidikan yang setara dengan standar sekolah dasar di Belanda (Nederland).
Namun, seiring waktu, definisi "Eropa" menjadi lebih longgar. Sekolah ini juga menerima anak-anak dari kalangan elit pribumi, bangsawan, serta orang-orang Timur Asing (seperti Tionghoa dan Arab) yang memenuhi persyaratan ketat, terutama dalam hal penguasaan bahasa Belanda. Pada tahun 1902, nama Europeesche Lagere Scholen secara resmi digunakan untuk menghilangkan kesan eksklusif bahwa sekolah ini hanya untuk orang Eropa, meskipun pada praktiknya tetap menjadi institusi yang elit.
Sejarah dan Perkembangan ELS: Dari 7 menjadi 198 Sekolah
Akar ELS berawal dari kebijakan politik etis atau Politik Etis yang digulirkan pada awal abad ke-20, meskipun cikal bakalnya sudah ada sejak lebih awal. Pemerintah kolonial merasa perlu menyediakan pendidikan bagi warga negaranya yang berada di tanah jajahan.
Awal mula ELS pertama kali didirikan di kawasan Weltevreden, yang kini dikenal sebagai daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Ini menjadi titik awal penyebaran pendidikan model Eropa di Hindia Belanda.
ELS mengalami pertumbuhan yang Signifikan. Perkembangan jumlah ELS menunjukkan perluasan pengaruh dan kebutuhan akan pendidikan ala Eropa. Berikut pertumbuhan ELS dari tahun 1820 hingga 1817:
- Tahun 1820: Baru terdapat 7 sekolah ELS.
- Tahun 1845: Jumlahnya bertambah menjadi 24 sekolah.
- Tahun 1868: Melonjak pesat menjadi 68 sekolah.
- Puncaknya pada 1917: Jaringan ELS mencapai 198 sekolah yang tersebar di berbagai kota besar di Hindia Belanda.
Pertumbuhan ini tidak hanya mencerminkan meningkatnya populasi warga Eropa, tetapi juga kebijakan pemerintah kolonial yang mulai membuka akses terbatas bagi kalangan tertentu pribumi.
Sistem Pendidikan dan Kurikulum ELS
Salah satu hal yang membedakan ELS dari sekolah pribumi (Inlandsche School) adalah standar dan lamanya pendidikan.
Lama Belajar dan Struktur
Pendidikan di ELS ditempuh dalam waktu tujuh tahun, lebih lama dari sekolah pribumi yang biasanya hanya tiga tahun. Pendidikan ini dibagi menjadi dua tingkat:
- Pendidikan Dasar (Basisonderwijs) pada tingkat ini difokuskan pada keterampilan dasar.
- Pendidikan Lanjutan (Vervolgonderwijs) pada tingkat ini lebih memperdalam ilmu pengetahuan dan bahasa asing.
Mata Pelajaran yang Diajarkan
Kurikulum ELS didesang sedemikian rupa agar mirip dengan sekolah di Belanda, namun dengan beberapa penyesuaian konteks Hindia Belanda.
Tingkat Pendidikan Dasar:
- Membaca dan Menulis (dalam bahasa Belanda)
- Berhitung (Rekenen)
- Bahasa Belanda (Nederlandse Taal)
- Sejarah Belanda dan Hindia Belanda (Geschiedenis)
- Ilmu Bumi (Geografi) - dengan penekanan lebih besar pada geografi Hindia Belanda
- Pengetahuan Alam (Natuurkunde)
- Menyanyi (Zang)
- Menggambar (Teekenen)
- Olahraga (Gymnastiek)
Tingkat Pendidikan Lanjutan:
Pada tingkat ini, siswa diperkenalkan dengan subjek yang lebih kompleks untuk mempersiapkan mereka masuk ke sekolah menengah seperti HBS (Hogere Burgerschool).
- Bahasa Prancis (Franse Taal)
- Bahasa Inggris (Engelse Taal)
- Sejarah Umum (Algemene Geschiedenis)
- Ilmu Pasti (Matematika dan Sains) (Wiskunde)
- Menggambar Teknik/Pertanian (Landbouwkundig Teekenen)
- Olahraga
- Pekerjaan Tangan (Handwerken) khusus untuk siswi perempuan, yang mencerminkan nilai-nilai domestik pada masa itu.
Penekanan pada bahasa Belanda adalah kunci. Pengantar seluruh pelajaran menggunakan bahasa Belanda, dan penguasaan bahasa ini menjadi gatekeeper bagi siswa pribumi yang ingin masuk.
Pengawasan dan Manajemen Sekolah
Sistem pengawasan ELS sangat terstruktur dan terpusat.
Komisi untuk Sekolah-Sekolah Eropa. Bertanggung jawab atas pengawasan umum kebijakan dan mutu pendidikan.
Seorang pejabat tinggi yang menangani masalah teknis dan administratif dipimpin oleh Direktur Pendidikan. Untuk efisiensi, Hindia Belanda dibagi menjadi lima distrik sekolah, masing-masing diawasi oleh seorang inspektur.
Struktur yang rapi ini memastikan bahwa standar pendidikan di semua ELS tetap terjaga dan konsisten sesuai keinginan pemerintah kolonial.
Daftar ELS dan Jejak Peninggalannya yang Masih Ada Hingga Kini
Banyak bangunan ELS yang hingga kini masih berdiri kokoh dan dialihfungsikan menjadi sekolah modern. Dua contoh yang paling terkenal adalah:
ELS di Theresia Kerkweg, Batavia
Lokasinya berada di jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat. Bangunan sekolah ini sekarang ditempati oleh Sekolah Katolik Santa Theresia, sebuah sekolah yang masih mempertahankan reputasi akademisnya yang kuat. Bangunannya sendiri merupakan bagian dari cagar budaya yang menyimpan nilai historis tinggi.
ELS di Koto Gadang, Sumatera Barat
Nagari Koto Gadang, dekat Bukittinggi, terkenal sebagai gudangnya intelektual dan tokoh pemikir Indonesia, seperti Agus Salim, Rohana Kudus, dan Sutan Sjahrir. Keberadaan ELS di Koto Gadang (yang sekarang menjadi SD Koto Gadang) menjadi bukti bahwa akses ke pendidikan Barat memang dibuka untuk kalangan pribumi tertentu, khususnya dari keluarga terpandang atau yang bekerja pada pemerintah kolonial. Sekolah ini menjadi salah satu pemicu semangat intelektual dan pergerakan di daerah tersebut.
Selain kedua sekolah tersebut, bekas bangunan ELS juga dapat ditemui di kota-kota lain seperti Surabaya, Bandung, Medan, Probolinggo dan Yogyakarta. Banyak yang kini menjadi SD Negeri atau swasta yang masih memanfaatkan struktur bangunan lamanya.
ELS dan Akses untuk Kaum Pribumi, Pintu Gerbang yang Sempit
Meskipun secara resmi terbuka, akses anak pribumi untuk bersekolah di ELS tidaklah mudah. Persyaratannya sangat ketat, antara lain:
- Kemampuan berbahasa Belanda dengan fasih.
- Berasal dari keluarga bangsawan atau priyayi.
- Memiliki orang tua yang bekerja dalam pemerintahan (sebagai ambtenaar).
Bagi yang berhasil lolos, ELS menjadi pintu gerbang menuju dunia yang lebih luas. Lulusan ELS dapat melanjutkan ke sekolah menengah elite seperti HBS atau sekolah kedokteran STOVIA, yang kemudian melahirkan banyak tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno (yang sempat bersekolah di ELS Mojokerto) dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Warisan ELS bagi Pendidikan Indonesia
Peninggalan ELS tidak hanya berupa bangunan fisik. Sistem yang ditinggalkannya memiliki pengaruh yang dalam:
Model Kurikulum
Struktur kurikulum komprehensif yang mencakup sains, bahasa, dan seni menjadi fondasi sistem pendidikan modern Indonesia.
Bahasa sebagai Pengetahuan
Penekanan pada penguasaan bahasa sebagai alat untuk mengakses ilmu pengetahuan masih sangat relevan today.
Dikotomi Pendidikan
Sayangnya, ELS juga mewarisi kesenjangan sosial dalam pendidikan. Pola pikir "sekolah favorit" dan "sekolah elite" dalam beberapa hal merupakan sisa dari stratifikasi pendidikan pada masa kolonial.
Penutup
Europeesche Lagere School (ELS) adalah lembaga pendidikan yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, ia adalah simbol diskriminasi dan politik apartheid pemerintah kolonial yang memisahkan pendidikan berdasarkan ras dan kelas sosial. Di sisi lain, ia justru menjadi katalisator kebangkitan nasional dengan mencetak kaum terpelajar pribumi yang kemudian memimpin perlawanan melalui pemikiran dan diplomasi.
Mempelajari ELS adalah memahami sebuah bab penting dalam sejarah Indonesia: bagaimana pendidikan digunakan sebagai alat kontrol, tetapi juga bagaimana ia pada akhirnya berubah menjadi alat pembebasan. Jejaknya, baik secara fisik maupun sistemik, tetap menjadi bagian dari narrative pendidikan Indonesia yang kompleks dan berlapis.
Kata Kunci
Europeesche Lagere School, ELS, Sekolah Dasar Eropa, pendidikan Hindia Belanda, sejarah pendidikan Indonesia, sekolah kolonial Belanda, SD Santa Theresia, SD Koto Gadang, politik etis, kurikulum ELS.***
0 Response to "Europeesche Lagere School (ELS): Jejak Pendidikan Elit di Zaman Kolonial Hindia Belanda"
Posting Komentar