Dari Spanyol ke Amerika, Peralihan Kekuasaan Filipina dalam Perjanjian Paris 1898

Sejarah Filipina tidak bisa dilepaskan dari dinamika kolonialisme Eropa dan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Salah satu momen paling menentukan dalam perjalanan bangsa ini adalah Perjanjian Paris 1898, perjanjian internasional yang mengakhiri Perang Spanyol–Amerika sekaligus memindahkan kedaulatan Filipina dari Spanyol ke Amerika Serikat. Ironisnya, keputusan besar ini dilakukan tanpa melibatkan rakyat Filipina, yang saat itu justru sedang berjuang untuk kemerdekaannya.

Gambar. Kedatangan Spanyol Ke Filipina
Sumber. https://i.pinimg.com/1200x/fe/f2/99/fef29930235bc9528218be51e333c265.jpg

Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana proses peralihan kekuasaan itu terjadi, konteks geopolitik yang melatarbelakanginya, serta dampaknya terhadap masa penjajahan Amerika di Filipina yang kemudian membentuk arah sejarah kolonial bangsa tersebut. 

Kolonialisme Spanyol di Filipina

Sebelum tahun 1898, Filipina telah berada di bawah kekuasaan Spanyol selama lebih dari tiga abad. Sejak kedatangan Miguel López de Legazpi pada 1565, Spanyol menjadikan Filipina sebagai salah satu koloni pentingnya di Asia. Manila berkembang menjadi pusat perdagangan global antara Asia, Eropa, dan Amerika Latin melalui jalur Galeón de Manila-Acapulco.

Namun, pemerintahan kolonial Spanyol juga menimbulkan ketidakpuasan rakyat akibat eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dan diskriminasi sosial. Kaum ilustrado, kaum terpelajar Filipina seperti José Rizal, Marcelo H. del Pilar, dan Graciano López Jaena, mulai menyuarakan reformasi dan kesetaraan di bawah Spanyol. Gerakan ini berkembang menjadi semangat kemerdekaan nasional, terutama setelah eksekusi José Rizal pada tahun 1896 yang memicu Revolusi Filipina di bawah Emilio Aguinaldo.

Perang Spanyol–Amerika dan Keterlibatan Filipina

Pada tahun 1898, dunia dikejutkan oleh pecahnya Perang Spanyol–Amerika. Konflik ini berawal dari ketegangan antara Amerika Serikat dan Spanyol di Kuba, koloni Spanyol di Karibia. Amerika, yang mengklaim dirinya sebagai pembela kebebasan bangsa-bangsa tertindas, menyatakan perang melawan Spanyol setelah kapal perang USS Maine meledak di pelabuhan Havana pada Februari 1898.

Meskipun perang berawal di Karibia, pertempuran juga meluas ke Pasifik, di mana Filipina menjadi sasaran utama. Pada 1 Mei 1898, armada Amerika di bawah komando Laksamana George Dewey menghancurkan armada Spanyol dalam Pertempuran Teluk Manila. Kekalahan Spanyol itu menandai berakhirnya kekuasaan kolonial mereka di Asia Tenggara.

Amerika kemudian berjanji akan mendukung perjuangan kemerdekaan Filipina melawan Spanyol. Atas dasar itu, Emilio Aguinaldo yang sebelumnya diasingkan ke Hong Kong, kembali ke Filipina untuk melanjutkan revolusi. Pada 12 Juni 1898, Aguinaldo memproklamasikan kemerdekaan Filipina di Kawit, Cavite. Namun, seperti yang akan terbukti kemudian, kemerdekaan itu hanyalah semu karena keputusan akhir nasib bangsa Filipina telah ditentukan di ruang perundingan Eropa.

Perjanjian Paris 1898, Penjualan Tanah Air Tanpa Suara Rakyat

Setelah serangkaian kekalahan di medan perang, Spanyol menyadari kekuasaannya sudah tak bisa dipertahankan. Untuk mengakhiri perang, kedua pihak, Spanyol dan Amerika Serikat bertemu di Paris pada 1 Oktober 1898. Dalam perundingan yang dikenal sebagai Perjanjian Paris 1898, Spanyol menyerahkan beberapa wilayah koloninya kepada Amerika Serikat.

Isi utama Perjanjian Paris 1898 meliputi:

  • Spanyol menyerahkan Kuba, Puerto Rico, dan Guam kepada Amerika Serikat.
  • Spanyol menjual Filipina kepada Amerika Serikat dengan harga 20 juta dolar AS.
  • Kedua pihak sepakat untuk mengakhiri perang dan mengatur pemulangan tawanan.

Yang paling menyakitkan bagi rakyat Filipina adalah:

Tidak ada satu pun perwakilan Filipina yang diundang atau dilibatkan dalam perjanjian tersebut.

Bagi Amerika, Filipina hanyalah “wilayah rampasan perang” bukan bangsa merdeka yang baru memproklamasikan kedaulatannya. Dengan tinta perjanjian itu, nasib lebih dari tujuh juta jiwa ditentukan tanpa persetujuan mereka sendiri.

Perjanjian ini menandai berakhirnya kekuasaan Spanyol dan dimulainya penjajahan Amerika di Filipina, sebuah bentuk kolonialisme baru dengan wajah berbeda tetapi semangat yang sama: penguasaan dan dominasi.

Penolakan Rakyat Filipina, Dari Harapan ke Perlawanan

Ketika isi Perjanjian Paris diketahui, rakyat Filipina merasa dikhianati. Emilio Aguinaldo yang sebelumnya percaya Amerika akan membantu kemerdekaan negaranya, merasa ditipu. Pemerintah revolusioner di Malolos menolak mengakui kedaulatan Amerika dan tetap mempertahankan Republik Filipina Pertama yang telah diproklamasikan.

Namun, Amerika tidak mengakui pemerintahan tersebut. Mereka menegaskan bahwa Filipina adalah wilayah Amerika berdasarkan hasil Perjanjian Paris. Ketegangan pun meningkat hingga pecah menjadi Perang Filipina–Amerika pada 4 Februari 1899, hanya dua bulan setelah perjanjian ditandatangani.

Perang ini berlangsung hingga 1902 dan menewaskan ratusan ribu orang Filipina, sebagian besar warga sipil. Meskipun Amerika akhirnya berhasil menaklukkan Aguinaldo, perlawanan rakyat Filipina terus berlanjut di berbagai daerah hingga bertahun-tahun kemudian.

Penjajahan Amerika di Filipina, Wajah Baru Kolonialisme

Setelah menaklukkan pasukan Filipina, Amerika mulai menata sistem pemerintahan kolonial baru. Mereka menyebutnya “misi peradaban” (benevolent assimilation), seolah-olah penjajahan dilakukan demi membawa kemajuan, pendidikan, dan demokrasi. Namun, di balik retorika itu tersembunyi agenda imperialisme ekonomi dan politik yang kuat.

Beberapa kebijakan penting masa penjajahan Amerika antara lain:

1. Sistem Pendidikan Barat

Amerika memperkenalkan sistem pendidikan publik berbahasa Inggris. Ribuan guru dari Amerika, yang dikenal sebagai Thomasites, dikirim ke Filipina. Tujuannya adalah menciptakan generasi yang loyal terhadap nilai-nilai dan budaya Amerika.

Nama ini diambil dari kapal uap yang membawa gelombang pertama guru-guru Amerika, yaitu SS Thomas, yang tiba di Manila pada Agustus 1901. Jumlah total Thomasites yang dikirim mencapai sekitar 1.000 orang, menjadikannya misi pendidikan tunggal terbesar yang pernah dikirim ke luar negeri pada masa itu.

2. Reorganisasi Pemerintahan

Amerika membentuk pemerintahan kolonial dengan sistem hukum, birokrasi, dan pemilihan terbatas. Meskipun tampak lebih modern daripada sistem Spanyol, rakyat Filipina tetap tidak memiliki kedaulatan penuh.

3. Eksploitasi Ekonomi

Investasi besar-besaran dari perusahaan Amerika masuk ke sektor pertanian, pertambangan, dan transportasi. Filipina menjadi pasar baru bagi produk Amerika, sementara bahan mentahnya diekspor murah ke luar negeri.

4. Militerisasi dan Kontrol Sosial

Untuk menekan perlawanan rakyat, Amerika membentuk Philippine Constabulary, cikal bakal kepolisian nasional, yang bertugas menjaga ketertiban dengan cara represif.

Dengan demikian, meskipun Amerika menyebut pemerintahannya sebagai bentuk “modernisasi”, bagi rakyat Filipina hal itu tetaplah penjajahan dalam bentuk baru lebih halus, lebih sistematis, tetapi tetap menghilangkan kedaulatan bangsa. 

Penutup

Perjanjian Paris 1898 adalah simbol ketidakadilan kolonial dalam sejarah dunia. Melalui perjanjian itu, Filipina “dipindahkan” dari Spanyol ke Amerika Serikat seolah hanya sebuah barang dagangan, bukan sebuah bangsa yang merdeka.

Dampaknya masih terasa hingga kini: warisan kolonialisme, ketimpangan sosial, dan pengaruh budaya Amerika masih melekat dalam kehidupan masyarakat Filipina modern. Namun, dari luka sejarah itu pula lahir semangat nasionalisme dan tekad rakyat Filipina untuk berdiri sebagai bangsa merdeka.

Dengan memahami sejarah kolonial Filipina dan peristiwa Perjanjian Paris 1898, kita belajar bahwa kemerdekaan sejati tidak bisa diberikan — ia harus diperjuangkan oleh rakyatnya sendiri.***

0 Response to "Dari Spanyol ke Amerika, Peralihan Kekuasaan Filipina dalam Perjanjian Paris 1898"

Posting Komentar